REVIEW DAN ANALISIS FILM GURU BANGSA: TJOKROAMINOTO (2015)

Penulis : Mika Meytasia Ito

Film Guru Bangsa: Tjokroaminoto (2015) ini mengisahkan perjuangan Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, seorang bangsawan Jawa yang menolak feodalisme dan memilih membela rakyat kecil di tengah penindasan kolonial Belanda. Ia mendirikan Sarekat Islam (SI) sebagai wadah perlawanan dan menginspirasi rakyat melalui pidato dan pergerakan politik. Di rumahnya, ia membimbing pemuda-pemuda yang kelak menjadi tokoh besar Indonesia, seperti Soekarno atau yang dalam film ini dipanggil kusno, Semaoen, Musso, dan Kartosuwiryo, yang kemudian mengembangkan ideologi berbeda—nasionalisme, komunisme, dan Islamisme. Namun, perbedaan ini juga memicu perpecahan dalam SI, sementara pemerintah Belanda semakin menekan gerakan yang ia pimpin. Di tengah perjuangan yang semakin sulit, Tjokroaminoto menghadapi penangkapan dan pengasingan, serta perpecahan di antara murid-muridnya. Film ini menampilkan kompleksitas perjuangan kemerdekaan, ketegangan ideologi, serta peran penting seorang guru bangsa dalam membentuk pemimpin masa depan Indonesia.

Relasi antara Penguasa dengan Rakyat

Film ini menggambarkan relasi antara penguasa kolonial Belanda dengan rakyat pribumi sebagai relasi yang timpang dan penuh ketidakadilan. Sistem sosial yang ada menempatkan kaum pribumi dalam posisi subordinat, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun hukum. Pemerintah kolonial menerapkan kebijakan yang membatasi akses ekonomi dan pendidikan bagi pribumi, sementara elite pribumi yang memiliki kedekatan dengan Belanda mendapatkan keistimewaan tertentu. Dalam film, Tjokroaminoto memilih meninggalkan status ningratnya dan berpihak kepada rakyat kecil yang mengalami ketidakadilan. Relasi ini diperumit dengan munculnya organisasi massa seperti Sarekat Islam (SI), yang dipimpin oleh Tjokroaminoto sebagai bentuk perlawanan rakyat terhadap dominasi Belanda dan elite pribumi yang pro-kolonial. Melalui SI, Tjokroaminoto mengemukakan pidatonya yang meratakan seluruh seluruh derajat rakyat. “Rakyat tidak seperempat”, kata-kata tersebut menghapuskan celah antara kaum priyayi dan rakyat jelata. SI menjadi wadah bagi rakyat untuk menyuarakan aspirasi mereka, menunjukkan bahwa ketimpangan tidak diterima begitu saja, tetapi juga diperjuangkan melalui jalur politik dan sosial.

Ideologi

Salah satu aspek menarik dalam film ini adalah bagaimana ideologi berkembang dalam lingkungan yang sama, tetapi dengan arah yang berbeda. Tjokroaminoto menggunakan Islam sebagai dasar pergerakan dalam melawan kolonialisme. SI yang ia pimpin tidak hanya berbicara soal keadilan sosial, tetapi juga identitas Islam sebagai alat pemersatu rakyat dalam menghadapi ketidakadilan. Namun, ia bersikeras untuk tidak akan sekalipun mengotori tangannya dengan kekerasan. Di rumah Tjokroaminoto, berbagai tokoh pemuda yang kelak menjadi pemimpin besar Indonesia—seperti Soekarno, Semaoen, Musso, dan Kartosuwiryo—belajar dan berdiskusi. Mereka kemudian mengembangkan ideologi yang berbeda:

Soekarno : Nasionalisme sekuler

Semaoen & Musso : Komunisme

Kartosuwiryo : Islamisme dan Negara Islam

Ini menunjukkan bahwa SI menjadi ruang dialektika berbagai ideologi yang akan membentuk peta politik Indonesia di masa depan. Meskipun pada akhirnya, di film ditampilkan bahwa perbedaan ideologi yang dimiliki Semaoen, menginginkan revolusi yang nyata seperti yang terjadi pada revolusi Bolshevik di Rusia. Ia meyakini bahwa harus ada pergerakan dari bawah untuk menyingkirkan kaum-kaum borjuis. Hal ini juga yang menjadi salah satu kompleksitas perjuangan hijrah oleh Tjokroaminoto melalui SI.  

Konteks Sosial, Politik, dan Ekonomi-Politik

a. Konteks Sosial

Hindia Belanda pada awal abad ke-20 mengalami perubahan sosial yang signifikan. Urbanisasi meningkat, dan kesadaran politik mulai tumbuh di kalangan pribumi akibat kebijakan Etische Politiek (politik etis) Belanda yang membuka peluang pendidikan bagi beberapa kalangan pribumi. Kaum pribumi mulai memahami pentingnya pendidikan dan organisasi dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Stratifikasi sosial masih sangat kuat, dengan perbedaan mencolok antara priyayi (bangsawan), santri (muslim tradisional), dan rakyat jelata.

b. Konteks Politik

Konteks politik dalam film ini dibentuk dengan berbagai macam. Seperti kebijakan kolonial Belanda yang semakin represif terhadap gerakan nasionalisme yang mulai tumbuh. Kemudian perjuangan politik pribumi mulai bergeser dari perjuangan fisik ke organisasi dan pergerakan massa, dan munculnya organisasi politik pertama di Indonesia, seperti Budi Utomo dan Sarekat Islam yang menjadi sorotan utama dalam film ini.

c. Ekonomi-Politik

Sistem ekonomi yang diterapkan oleh Belanda cenderung eksploitatif, dengan penguasaan sumber daya oleh pihak kolonial dan pembatasan akses ekonomi bagi pribumi. Sarekat Islam awalnya berdiri sebagai organisasi dagang untuk melindungi pedagang pribumi dari dominasi pedagang Tionghoa dan Belanda, sebelum berkembang menjadi organisasi politik untuk.

Aktor yang Terlibat, Khususnya Pemuda

Film ini menyoroti peran pemuda dalam pergerakan nasional, yang diwakili oleh beberapa tokoh besar:

a. Soekarno atau Kusno

Soekarno merupakan salah satu murid Tjokroaminoto yang kemudian menjadi proklamator dan Presiden pertama Indonesia. Ia mengembangkan nasionalisme sekuler dengan menekankan persatuan bangsa tanpa mengutamakan satu agama atau ideologi tertentu.

b. Semaoen & Musso

Keduanya adalah kader Sarekat Islam yang kemudian menjadi pemimpin gerakan komunis di Indonesia. Semaoen menjadi pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) pertama, sementara Musso menjadi tokoh utama PKI pada 1948. Keduanya yang memulai gerakan revolusi dalam film.

c. Kartosuwiryo

Kartosuwiryo awalnya merupakan bagian dari Sarekat Islam, tetapi kemudian mengembangkan ide Negara Islam Indonesia (NII). Iab berperan dalam pemberontakan DI/TII setelah Indonesia merdeka.

d. HOS Tjokroaminoto

Meskipun tidak terlibat langsung dalam ideologi ekstrem, ia membuka ruang diskusi bagi murid-muridnya yang kelak memiliki pandangan berbeda. Peran Tjokroaminoto sebagai guru menunjukkan bahwa perbedaan ideologi di Indonesia bukan sekadar konflik, tetapi juga hasil dari dialektika panjang yang sudah dimulai sejak awal abad ke-20.

Film Guru Bangsa: Tjokroaminoto tidak hanya menampilkan biografi seorang tokoh sejarah, tetapi juga memotret kompleksitas relasi sosial, politik, dan ekonomi Hindia Belanda. Relasi penguasa dan rakyat ditandai dengan ketimpangan struktural yang melahirkan perlawanan melalui organisasi massa. Perkembangan ideologi di kalangan pemuda menunjukkan bagaimana lingkungan yang sama dapat melahirkan pemikiran yang berbeda, yang kelak menjadi dasar perpolitikan Indonesia. Konteks sosial, politik, dan ekonomi-politik memperlihatkan bagaimana kolonialisme menciptakan ketidakadilan yang memicu gerakan nasionalisme. Peran pemuda dalam film ini menegaskan bahwa perjuangan kemerdekaan bukanlah hasil dari satu pemikiran tunggal, tetapi dari berbagai ideologi yang bertemu, berdebat, dan berkembang di bawah bimbingan tokoh seperti Tjokroaminoto. Film ini memberikan pemahaman mendalam tentang bagaimana Indonesia lahir dari perdebatan panjang antara berbagai ideologi yang muncul sebagai respons terhadap kolonialisme.


Comments

Popular posts from this blog

Review “Transnational Advocacy Networks in International Politics: Introduction”

GERAKAN SOSIAL PADA FILM “THE BURNING SEASON : THE CHICO MENDES STORY”

REVIEW “CLASSICAL AND CONTEMPORARY CONVENTIONAL THEORIES OF SOCIAL MOVEMENTS” OLEH CLAYTON D. PEOPLES